APA pun motifnya, tindakan polisi mendukung salah satu kandidat dalam pemilihan kepala daerah yang baru saja lewat seharusnya tak terjadi. Para pemimpin polisi tidak sepatutnya mengorbankan integritas dan kredibilitas lembaga penegak hukum demi kepentingan politik jangka pendek. Mereka yang terlibat harus mendapat sanksi pidana, selain dicopot dari jabatannya.
Indikasi keberpihakan sejumlah anggota korps Bhayangkara sebenarnya telah terbaca sejak awal pilkada. Di Kalimantan Timur, misalnya, Kepala Kepolisian Daerah Inspektur Jenderal Safaruddin memerintahkan penyidiknya memeriksa calon gubernur dari Partai Demokrat, Syaharie Jaang, setelah lamarannya menjadi calon wakil gubernur Syaharie ditolak. Safaruddin sendiri belakangan menjadi calon wakil gubernur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Di Medan, Kepala Polda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw tertangkap basah sedang berpose dengan mengacungkan dua jari-simbol politik salah satu kandidat di sana. Sedangkan Wakil Kepala Polda Maluku Brigadir Jenderal Hasanuddin menjadi sorotan ketika aktif berpidato menggalang dukungan untuk salah satu kandidat. Meski tak langsung menyudutkan dan menjegal peserta pilkada lain, tindakan kedua jenderal polisi ini sudah jelas melanggar etika.
Kisah yang paling dramatis datang dari Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, yang juga calon Gubernur Jawa Tengah. Lima hari sebelum pencoblosan, tim kampanyenya yang tengah membawa uang konsumsi untuk saksi-saksi sebesar Rp 4,5 miliar dihadang di tengah jalan tol menuju Semarang. Para penghadangnya ternyata polisi yang konon sedang menelisik transaksi narkotik. Akibat insiden itu, tim Sudirman terlambat membagikan logistik untuk ribuan saksi di pelosok Jawa Tengah.
Intervensi politik dengan mengganggu konsentrasi tim pemenangan atau melayangkan tuduhan pelanggaran pidana palsu agar citra lawan terpuruk adalah bentuk politik kotor yang tak punya tempat di negeri ini. Keterlibatan penegak hukum dalam aksi curang semacam itu benar-benar merusak marwah polisi sendiri. Ibarat menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri.
Ikhtiar Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menerbitkan surat edaran tentang 13 hal yang tidak boleh dilakukan polisi selama pilkada patut diapresiasi. Namun, di lapangan, penegakan butir-butir larangan itu ternyata masih bermasalah. Ancaman pemecatan dan sanksi pidana rupanya tak cukup untuk memaksa polisi mematuhi aturan main yang dibuat pemimpinnya sendiri.
Tak bisa dimungkiri, salah satu akar masalah ini adalah maraknya tradisi perkubuan di kalangan internal Kepolisian. Kondisi ini potensial memicu ketidaknetralan polisi dalam arena politik seperti pilkada. Pasalnya, setiap kubu memiliki patron politik dengan orientasi kepentingan dan loyalitas masing-masing. Mereka memanfaatkan segala cara, termasuk menyalahgunakan kewenangan, untuk melindungi kepentingan kubunya.
Jika keberadaan faksi-faksi di tubuh Kepolisian ini tak dibereskan, selamanya netralitas polisi sulit dicapai. Ini tentu berbahaya untuk masa depan demokrasi Indonesia. Kita masih ingat benar bagaimana aparat negara di era Orde Baru dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa.
Di era demokrasi seperti sekarang, pengalaman pahit selama 30 tahun pemerintahan Soeharto janganlah diulangi. Semua pihak harus berusaha agar polisi bisa menjadi ujung tombak penegakan hukum yang adil, bersih, serta berdiri di atas semua kelompok dan golongan.